Belitung Timur | Sisnet Radio – Suasana malam di Kelapa Kampit berubah khidmat ketika jarum jam tepat menunjuk pukul 00.00 WIB, Sabtu (6/9/2025). Halaman Klenteng Fuk Tet Che dipadati warga Tionghoa bersama masyarakat sekitar yang larut dalam perayaan Sembahyang Rebut atau Festival Arwah Lapar.
Dentuman genderang, tabuhan simbal, dan kepulan dupa yang menguar ke udara menciptakan atmosfer mistis. Dari kejauhan, tampak sosok hantu raksasa menjulang setinggi lebih dari sepuluh meter. Sosok yang akrab disebut warga sebagai “antu gede” itu digotong belasan pria berbaju seragam merah dan kuning.
Figur tersebut dibuat dari rangka bambu yang dilapisi kertas warna-warni. Bagi umat Buddha Tionghoa, wujud ini menggambarkan roh lapar yang turun ke dunia pada bulan ketujuh penanggalan lunar. Arak-arakan berakhir di pelataran klenteng, di mana antu gede kemudian dibakar sebagai bagian puncak ritual.
Ketua Yayasan Klenteng Fuk Tet Che sekaligus Bupati Belitung Timur, Kamarudin Muten, memimpin prosesi tersebut. Api menjilat tubuh raksasa kertas itu, meninggalkan bara dan abu yang berterbangan di langit malam.
“Sembahyang Rebut adalah warisan leluhur yang terus kami jaga. Melalui ritual ini, kita mendoakan kesejahteraan bersama, keselamatan, serta kesehatan masyarakat Belitung Timur,” ujar Kamarudin usai prosesi.
Tak hanya hantu raksasa, warga juga mengarak dan membakar miniatur kapal laut serta pesawat terbang. Replika tersebut dipercaya sebagai bekal perjalanan arwah menuju alam baka. Kobaran api yang melalapnya menjadi simbol pengantaran, sekaligus pengingat akan hubungan antara dunia fana dan dunia roh.
Menurut Kamarudin, tradisi yang juga dikenal dengan sebutan Tjit Nyet Pan memiliki nilai kebersamaan yang tinggi.
“Setiap tahunnya, warga tanpa memandang usia atau latar belakang turut ambil bagian. Ada yang membuat replika, menyiapkan sesaji, hingga ikut mengarak. Kebersamaan ini yang memperkuat persaudaraan lintas generasi bahkan lintas etnis,” jelasnya.
Di area altar, lilin merah menyala terang, menerangi meja persembahan yang penuh dengan buah, beras, serta kue tradisional. Doa-doa dipanjatkan dengan khusyuk, mengiringi prosesi pembakaran yang berlangsung hingga menjelang dini hari.
Bagi masyarakat, Sembahyang Rebut bukan sekadar ritual keagamaan, melainkan perayaan budaya yang menyatukan masa lalu, masa kini, dan harapan masa depan. Di balik simbol pembakaran hantu raksasa dan replika, tersimpan doa agar arwah leluhur diberi ketenangan, sementara umat yang masih hidup mendapat perlindungan.
Sebagai bentuk dukungan terhadap pelestarian budaya lokal, Sisnet Radio turut meliput acara ini secara siaran langsung melalui Facebook Sisnet Beltim. Hingga hari ini, Selasa (9/9/2025), tayangan live tersebut telah ditonton lebih dari 3,4 ribu kali, menunjukkan tingginya antusiasme masyarakat terhadap tradisi budaya yang terus dijaga hingga kini.
Menjelang pagi, bara api meredup, menyisakan abu putih di tanah klenteng. Perlahan warga meninggalkan tempat dengan wajah teduh. Malam mistis itu pun berakhir, namun pesan kebersamaan dan penghormatan pada leluhur tetap melekat di hati mereka.(S)