Dalam masa kampanye, banyak ASN maupun pendukung pasangan calon (paslon) yang terang-terangan menunjukkan keberpihakan mereka. Tidak jarang, mereka bersikap seolah-olah kemenangan paslon yang didukung adalah kepastian mutlak. Bahkan, ada kecenderungan bahwa roda pemerintahan terlihat seakan-akan diatur oleh kelompok tertentu, terutama jika petahana kembali mencalonkan diri. Dalam kondisi seperti ini, penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pun sering kali mendapat sorotan lebih ketat. Aparatur pemerintahan yang seharusnya bekerja secara profesional menjadi terbelenggu oleh dinamika politik yang terjadi.
Namun, setelah hasil Pilkada diumumkan dan ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK), sering kali terjadi fenomena yang ironis. Ketika paslon yang diunggulkan ternyata kalah, banyak pendukungnya yang sebelumnya begitu vokal kini justru berusaha mencari posisi di pemerintahan yang baru. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: di manakah harga diri dan konsistensi mereka? Padahal, dalam demokrasi, menerima kekalahan dengan lapang dada adalah bagian dari kedewasaan politik.
ASN Sejati: Netral dan Profesional
Bagi ASN, netralitas bukan sekadar tuntutan moral, tetapi juga kewajiban hukum. Sesuai dengan regulasi yang ada, ASN dilarang untuk berpolitik praktis, baik secara langsung maupun tidak langsung. Mereka harus tetap fokus pada tugas utama sebagai pelayan masyarakat, tanpa terpengaruh oleh kepentingan politik mana pun.
Menjadi ASN berarti harus siap bekerja di bawah pemerintahan siapa pun yang terpilih secara demokratis. Oleh karena itu, ASN sejati harus tetap menjaga profesionalisme dan integritas, serta tidak memihak dalam Pilkada. Jika memilih untuk terlibat dalam politik praktis, maka harus siap dengan segala konsekuensinya, termasuk risiko kehilangan posisi atau tidak mendapatkan kepercayaan dari pemerintahan yang baru.
Politisi dan Pendukung: Menjaga Etika dan Harga Diri dalam Demokrasi
Bagi para politisi dan pendukung, penting untuk memahami bahwa politik adalah arena perjuangan yang membutuhkan kedewasaan dan sikap sportif. Jika paslon yang didukung kalah, maka harus diterima dengan jiwa besar, tanpa harus mencari-cari keuntungan pribadi di pemerintahan yang baru.
Menjadi tim sukses dalam politik bukan sekadar ikut-ikutan atau mengharapkan imbalan. Jika seseorang benar-benar memiliki kapasitas dan kompetensi, maka cepat atau lambat akan tetap dibutuhkan dalam pemerintahan, tanpa perlu meminta atau memaksakan diri. Seorang pemimpin yang baik pasti akan mencari orang-orang yang berkualitas, bukan mereka yang hanya bersuara lantang saat kampanye tetapi kehilangan prinsip setelah pemilu usai.
Sebagaimana pepatah mengatakan, "Ingar madu ingar kumbang," yang berarti dalam hiruk-pikuk dunia, seseorang harus tetap memiliki sikap dan pendirian yang kuat. Jangan menjual harga diri hanya demi kepentingan politik sesaat.
Kesimpulan: Menjadi Pemilih yang Cerdas dan Berintegritas
Pilkada adalah momentum demokrasi yang seharusnya menjadi ajang pembelajaran bagi semua pihak. ASN harus menjaga netralitas dan profesionalisme, politisi harus berkompetisi dengan sehat, dan pendukung harus memiliki etika serta harga diri dalam berpolitik. Jika paslon yang didukung kalah, jangan meratapi nasib atau mencari keuntungan dari pemerintahan yang baru, tetapi tetaplah berkontribusi bagi masyarakat dengan cara yang bermartabat.
Demokrasi bukan hanya soal menang dan kalah, tetapi tentang bagaimana kita membangun bangsa dengan sikap yang dewasa, jujur, dan penuh integritas.(s)